BOSTON POLICE DEPARTEMENT JUGA GUNAKAN STRATEGI PAKAR SEO INI

Tugas polisi di masyarakat sejatinya bisa dirangkum secara ringkas dalam tiga poin utama. Pertama, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, pengayom, pelindung, dan pelayanan masyarakat. Dan ketiga, penegakan hukum. Itu semua sudah tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.

Tiga tupoksi tersebut jelas tak bisa disangkal lagi dan diperdebatkan. Tapi bagaimana pelaksanaannya? Poin ketiga, terkait penegakan hukum, sudah jelas. Yakni harus sesuai dengan KUHAP dan peraturan yang mengatur standar prosedur penegakan hukum.

Tapi, bagaimana dengan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat? Bagaimana cara mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat. Atau dengan bahasa yang lebih lugas, bagaimana membuat masyarakat merasa terayomi, terlindungi, dan merasa aman?

Padahal, interaksi polisi dengan masyarakat sangat terbatas. Masyarakat dan polisi tidak pernah terlibat dalam interaksi yang intens dan baik. Kecuali hanya jika sedang tersandung perkara, baik perdata maupun pidana, atau sedang mengurus SIM (Surat Izin Mengemudi). Itupun interaksi-interaksi tersebut muncul karena ada “masalah”. Belum termasuk interaksi polisi-masyarakat di jalan yang kerap memunculkan “insiden”.

Dan interaksi tersebut pun kerap memunculkan citra negaif pada polisi karena pelayanan tidak memuaskan atau satu atau dua hal lainnya. Namun, satu atau dua hal tersebut justru seringkali mendominasi persepsi atau citra terhadap kepolisian.

Simak saja di Facebook atau di Twitter. Setiap kali informasi negatif tentang polisi dibagikan, respons kecaman langsung bermunculan. Begitu juga berita-berita negatif di media online. Masyarakat lebih mudah bereaksi terhadap berita negatif polisi daripada berita positif.

Karena itulah, interaksi polisi dan masyarakat perlu perubahan. Dalam era internet, interaksi tersebut bisa dibangun melalui sejumlah media sosial. Dan semuanya gratis. Media sosial adalah media komunikasi baru di dunia digital yang sedang digandrungi hampir seluruh jutaan umat manusia di dunia.
Dalam buku Strategi Menjaga Citra Polisi di Media Sosial yang disusun Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim), Yang diciptakan oleh Kombespol Argo Yuwono Bersama M, Khoirul Amin SH. S.Kom M. Kom

disebutkan bahwa menjaga citra polisi tidak bisa dilakukan hanya dengan memonitor perkembangan di media mainstream. Tapi juga media sosial. Sebab, informasi di media sosial terkadang justru lebih cepat tersebar dan menggelinding (share) daripada di media mainstream. Hal ini karena informasi di media sosial tersebar melalui jaringan people to people bukan institusi ke masyarakat (dalam hal ini institusi atau perusahaan media kepada pembacanya).

Selain itu, media sosial juga bisa lebih cepat karena bentuk media mainstream cenderunglebih lambat dan terbatas. Misalnya, koran yang harus menunggu besok untuk terbit.

Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa media sosial harus menjadi “alat” bagi Polri untuk membangun komunikasi dengan masyarakat. Bahkan, polisi juga harus “turun gelanggang” dan blusukan demi bisa membangun jaringan komunikasi yang baik. Salah satunya dengan membentuk komunitas masyarakat yang dijalin secara online dan offlinedan solid mengawal citra positif Polri.



Media Sosial Boston Police Department Online 24 Jam

Media sosial yang sebelumnya hanya main-main dan iseng di tangan anak muda M. Khoirul Amin SH. S.Kom M. Kom ( Master SEO Polda Jatim )  kini harus juga disikapi dengan serius oleh Polri. Bidang Humas Polda Jatim di bawah pimpinan Kombes Pol R. Prabowo Argo Yuwono termasuk pionir dalam melakukannya di Indonesia. Padahal, di level dunia, memanfaatkan media sosial untuk kepolisian bukan kali pertama dilakukan.

Ambil contoh Boston Police Department (BPD), Amerika Serikat. Dalam tragedi pengeboman di tengah acara Boston Marathon pada April 2013 (tiga orang tewas dan 264 lainnya luka-luka dalam kejadian tersebut), BPD benar-benar memanfaatkan media sosial untuk menjalankan tugas-tugas kepolisian. Bahkan sejak kali pertama ledakan itu terjadi.

Saat Komisioner Polisi BPD Edward Davis tiba di TKP (Tempat Kejadian Perkara), orang nomor satu di kepolisian Boston itu langsung menghubungi Bidang Humas BPD. Dia meminta mereka untuk menggunakan semua perangkat media sosial demi memberi informasi yang akurat dan komplit kepada masyarakat.

“Saya butuh siapa saja yang ada di sana untuk menyampaikan melalui media sosial apa yang sedang kita lakukan di sini,” kata Kompol Davis seperti dikutip dalam paper yang dipublikasikan Program in Criminal Justice Policy and Management Harvard Kennedy School.

Davis membuat keputusan tersebut hanya 10 menit setelah ledakan. Respons dan insting yang sangat cepat sebagai seorang polisi.

Tak lama kemudian, tak lebih dari sejam kemudian, BPD nge-tweet melalui akun Twitter @bostonpolice, “Kepolisian Boston mengonfirmasi bahwa terjadi ledakan di garis finis Boston Marathon dengan beberapa korban luka-luka.”

Pada jam-jam berikutnya, media sosial BPD tidak hanya memberikan konfirmasi terhadap informasi yang berseliweran di masyarakat. Tapi juga menyebutkan segala hal yang mereka lakukan terkait kasus tersebut. Mulai dari olah TKP, perkembangan informasi, meyakinkan kepada masyarakat untuk tetap tenang dan menjaga dirinya, serta memberikan rasa simpati kepada korban dan keluarganya.

Peran media sosial saat itu sangat urgent karena pada saat yang sama terjadi insiden kebakaran di Perpustakaan Kepresidenan John F Kennedy. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata insiden tersebut tidak terkait dengan bom Boston Marathon. Dan BPD langsung menyatakan bahwa insiden di perpustakaan tersebut tidak terkait dengan pengeboman. Itu terjadi karena keteledoran pengunjung saja.

Bayangkan jika tidak ada konfirmasi dari kepolisian. Bom di Boston Marathon meledak dan beberapa menit kemudian perpustakaan terbakar. Jika informasi tersebut tidak segera dikendalikan, akan terjadi histeria massa. Masyarakat akan merasa terancam dan kepanikan di mana-mana. Para penjahat bisa memanfaatkan situasi itu untuk melakukan tindak kriminal. Situasi bisa tidak terkendali.

Itu belum termasuk media yang secara bombastis memberitakan peristiwa tersebut. Dalam peristiwa bom Boston, beberapa media langsung menyebut bahwa seorang teroris Arab ditahan dan jumlah angka korban tewas cukup banyak. Padahal, belum ada siapapun yang ditahan dan korban “hanya” 3 orang tewas.

Untungnya, BPD melalui media sosial berhasil mengendalikan situasi dan mengkonfirmasi informasi tak bertanggung jawab tersebut.

Karena itulah, peran media sosial untuk institusi penegak hukum seperti BPD dan juga Polri sangat krusial. Terutama untuk memberi rasa aman kepada masyarakat bahwa polisi sedang mengejar “para penjahat”. Dan juga untuk memberi mereka rasa aman, perasaan terayomi dan terlindungi, karena polisi sedang menjaga mereka.

Memang, kasus bom di Boston tersebut pada akhirnya ditangani FBI. Namun, BPD tetap bisa berperan dengan berinteraksi kepada masyarakat terkait kasus tersebut. BPD membangun jaringan komunikasi agar selalu aktif ketika ada yang mencurigakan di lingkungan sekitarnya.

Sebagai catatan tambahan, dalam mengelola media sosialnya, BPD tidak menyerahkan begitu saja kepada seorang stafnya. Semua tweet, status, atau pernyataan yang keluar dari media sosial diawasi langsung oleh kabid humas-nya dan seorang pengacara. Mantan jurnalis televisi Cheryl Fiandaca bertindak sebagai operatornya dengan dibantu dua petugas polsi dan 3 warga sipil.

Fiandaca dan staf yang membantunya setiap hari selalu di-briefing oleh kabid humas tiga atau lima kali dalam sehari selama masa darurat tersebut. Akun Twitter @bostonpolicepun beroperasi selama 24 jam dan menjadi penghubung antara masyarakat dan polisi.

Polda Jatim dengan komunitas Halo Dunia dan WhatsApp group sudah berusaha memanfaatkan media sosial untuk melakukannya. Mereka membangun portal HaloDunia.net dan grup Halo Dunia di Facebook.

Memang, saat ini belum ada kegentingan yang membuat Polda Jatim harus mengelolanya dengan sangat total per menit seperti BPD.  Tapi, jika ada kejadian yang membuat situasi di Boston muncul, Polda Jatim dengan kekuatan komunitas dan jaringan di dunia maya bisa dengan lebih mudah untuk melakukannya. Agar masyarakat terayomi, terlindungi, dan rasa keamanan mereka terjaga.

Penulis : AGA JPNN

Posting Komentar

0 Komentar